KOMPLES ALUN-ALUN UTARA

Tugu Pemandengan

Titik akses utama menuju Keraton Surakarta dari arah utara sesungguhnya adalah Tugu Pemandengan (Pamandengan). Tugu ini terletak tepat di depan Balaikota Surakarta dan tidak jauh dari Pasar Gede Harjonagoro, sekitar 300 meter ke arah utara dari gerbang utama keraton yang disebut Gapura Gladag.

Tugu Pamandengan berfungsi sebagai titik fokus pandangan batin Sri Sunan kepada Allah SWT ketika beliau lenggah sinewaka di sebuah tempat yang ditinggikan, di Bangsal Pagelaran Sasana Sumewa. Memfokuskan pandangan pada Tugu Pamandengan terutama pada bagian puncaknya, dipercaya sebagai salah satu sarana meditasi yang sangat kuat bagi Sri Sunan. Pada era moderen ini Tugu Pamandengan juga berfungsi sebagai titik nol mercu tanda Kota Surakarta.

Gapura Gladag

Pada awalnya, Gapura Gladag adalah pintu masuk wilayah Keraton Surakarta dari arah utara yang didesain dalam bentuk gapura melengkung dan dibuat dari besi yang dihias berbagai gambar binatang buruan. Dari perkembangannya hingga saat ini, Gapura Gladag tersebut akhirnya berbentuk gapura candi bentar dengan ornamen hias yang berjumlah 48 dan jeruji tembok yang juga berjumlah 48. Hal ini merupakan angka peringatan ulang tahun Sri Susuhunan Pakubuwono X pada saat pembangunan gapura ini. Didepan Gapura Gladag, terdapat dua arca raksasa kembar di kiri dan kanan jalan yang disebut Reca Pandita Yaksa. Di sisi kanan-kiri Jalan Pakubuwono (yang membelah Gapura Gladag) ini ditanami beberapa pohon beringin.



Pada zaman dahulu, space area disekitar Gapura Gladag dan gapura ke dua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih ditempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini adalah mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula kalawan Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja).

Pangurakan adalah merupakan bagian ruang antara gapura ke dua dan gapura ke tiga. Tempat ini berfungsi sebagai tempat penyembelihan (ngurak) binatang hasil buruan, dimana daging tersebut kemudian dibagikan secara adil kepada para putra sentana dan abdi dalem yang saat itu berada di lokasi penyembelihan. Di tepi jalan daerah Pangurakan terdapat bangunan bangsal yang diberi nama Bangsal Pangurakan. Bangsal ini adalah bangunan tempat menyembelih binatang buruan. Selain terdapat gambar api berkobar dan gambar matahari, di dalam Bangsal Pangurakan. Itu juga terdapat dua batu centeng besar berbentuk persegi, dengan lubang persegi ditengahnya, yang berfungsi sebagai tempat membakar dupa pada saat mengadakan upacara penyembelihan hewan buruan.

Alun-Alun Lor (Utara)

Alun-alun merupakan sebuah tanah lapang yang berfungsi sebagai lokasi tempat berkumpulnya rakyat banyak. Pada saat ini, ruang luas rata berpasir dari Alun-Alun Lor telah diganti dengan ruang rata yang berumput. Bahkan, tepat di tengah alun-alun membujur dari utara ke selatan sampai Pagelaran, dibuat jalur jalan pedestrian yang diperkuat oleh tanaman palem raja. Di pinggir alun-alun juga ditanami sejumlah pohon beringin.



Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harfiah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Agung) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam).

Di sekitar alun-alun, di sebelah utara terdapat bangsal kecil (balai) yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih.

Beberapa bale lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini, semenjak digantikannya kuda dengan moda transportasi moderen.

Bale tersebut diantaranya adalah Gedhong Kiwa, Keparak Kiwa, Jeksa, Penumping, Paseban Pemajegan, Kadipaten Anom, Bumi Gede, Keparak Tengen, Gedhong Tengen, dan Bangsal Patalon. Bangunan-bangunan ini sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cinderamata.

Di sebelah barat daya Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng dan Pusat Grosir Solo) terdapat 2 gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Batangan dan Gapura Klewer.

Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta pada masa lalu merupakan masjid agung kerajaan. Semua pegawai pada masjid agung merupakan abdi dalem keraton, dengan gelar serta berbagai pangkat dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin. Masjid Agung dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.

Masjid ini merupakan masjid dengan kategori Masjid Jami', yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jumat. Dengan status sebagai masjid utama kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan. Masjid Agung Surakarta memiliki luas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter.

Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mastaka. Di halaman timur masjid ini terdapat dua Bangsal Pagongan (Pagongan Lor dan Pagongan Kidul) yang digunakan untuk menempatkan sepasang gamelan sekati (Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari) serta menara adzan yang desain arsitekturnya menyerupai Qutb Minar di India.

TENTANG MERBABU.COM

Merbabu Community atau Komunitas Pecinta Alam Merbabu, berdiri sejak tahun 1984.

Website Merbabu.com hadir sejak tahun 2001, dirintis sejak tahun 1997 dengan domain hosting gratisan.

UNDERCONSTRUCTION

KERATON

CANDI

AIR TERJUN

 

.

.

Copyrights © 2001 - 2017 Merbabu.Com Powered by Propacom