Kehadiran bangsa Belanda di gugus
Kepulauan Banda terbukti dengan adanya
Fort Belgica. Fungsinya untuk menjaga
dan mempertahan kan Fort Nassau yang dibangun Portugis dari serangan pribumi Banda.
Kesamaran Dunia Timur di masa lalu telah menggerakkan imajinasi para pelaut Portugis untuk merin
tis sebuah perjalanan panjang tak berpeta. Dari
dongeng dan legenda yang dituturkan oleh nenek moyang
mereka, para pelaut itu mencoba mencari tanah idaman baru
untuk memetik "buah emas" yang masih terpendam di
kawasan Dunia Timur Raya.
Mungkin darah suku Moor yang mengalir dalam tubuh
mereka mewarisi keengganan untuk tinggal dan bermukim
di daerah dingin.
Bangsa yang suka berdagang itu segera
beranjak mencari daerah-daerah baru, yang hawanya panas
di ujung seberang lautan lepas. Setelah
melewati Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), rombongan singgah dan terbagi di Calicut, India, sebelum berlabuh
dan menetap di tanah idaman Bandar Malaka. Di sinilah para
pelaut Portugis mencium wangi rempah-rempah Maluku
dari para pedagang Jawa, Cina dan Arab. Wangi dan
aromatik yang sama pemah dicium para pelaut Portugis di
arena pasar Persia, Konstantinopel dan Venesia, yang juga
merupakan bandar-bandar niaga masyhur di dunia.
Dongeng tentang harumnya rempah-rempah di Kepulauan Maluku membuat Alfonso de Albuquerque segera
menyiapkan armada dan balatentaranya. Ekspedisi dimulai
dengan mengarungi Laut Jawa, melalui Kepulauan Sunda
Kecil, Ambon dan akhirnya berhenti di Ternate, tempat
yang diyakini sebagai penghasil pala dan fuli (bunga pala).
Dan ketika mendengar bahwa Banda adalah pusat "tambang
emas" itu, ia mengutus Antonio de Abreau beserta
rombongan untuk mengadakan peninjauan ke sana.
Kedua utusan ini ternyata begitu mudah diterima
masyarakat setempat, terutama para pedagang dan Tua-tua
Adat yang disegani. Mereka tidak mengalami kesulitan
dalam memperoleh Pala dan Fuli yang diharapkan. Apalagi
harga rempah-rempah di Kepulauan Banda ketika itu sangat
murah, sehingga para pedagang Portugis memperkirakan
akan memperoleh keuntimgan mendekati 1000 persen di
pasaran Lisabon.
Sebagai kebiasaan khas bangsa Portugis untuk meninggalkan kenangan di sebuah tempat persinggahan, mereka
selalu mendirikan sebuah benteng yang tidak saja dipakai
sebagai pos tetapi juga gudang penyimpanan berbagai
kebutuhan dan peralatan. Di Neira (Banda Neira) mereka
tak ketinggalan mendirikan sebuah benteng pada 1527 yang
disebut Fort Nassau. Benteng ini oleh pendirinya Kapitan
Garcia tidak saja dipakai sebagai latar depan gugus kekuatan
sesuai dengan letaknya yang strategis di pinggir pantai
tetapi sekaligus sebagai gudang penimbunan hasil bumi yang
mereka peroleh dari Kepulauan Banda.
Wangi rempah-rempah di Kepulauan Banda, tidak hanya menarik minat
bangsa Portugis. Pada tahun 1599, bangsa Belanda di
bawah pimpinan Laksamana Muda Jacob van Heemskerk,
bersama 200 pedagang, balatentara dan anak buah kapal
NederlanddanZeeland, singgah di perairan Orantata, Pulau
Lonthor (Banda Besar). Dengan demikian, Kepulauan
Banda pada abad ke-16 telah menjadi arena pertemuan
bangsa Barat, yang juga merupakan awal proses harmoni
Timur-Barat.
Kehadiran Van Heemskerk tak jauh berbeda dengan
pendahulunya. Meskipun secara pribadi ia tak menyukai
budaya pribumi yang jarang mandi dan hampir tidak
memakai baju, namun dia dan anak buahnya sangat mudah
diterima oleh masyarakat pribumi Banda. Simpati itu
terwujud dengan pemberian hadiah-hadiah kepada kepala-kepala kampung dan Tetua Adat berupa: cermin, pisau,
gelas kristal, mesiu dan sejumlah beludru merah. Daya pikat
demikian membuat penduduk pribumi Banda mudah me
nyerahkan hasil-hasil bumi yang ada. Bahkan penduduk
Banda bersedia memenuhi permintaan pala dan fuli dalam
jumlah besar.
Bangsa Belanda tampaknya lebih bebas memperoleh pala
dan fuli dalam jumlah besar, apalagi harganya yang relatif
murah. Belanda membeli pala dengan harga 6,45 real
(ringgit perak Belanda) per bahar (522 pon Belanda) dan fuli
seharga 60 real per bahar. Meski saat itu terjadi inflasi
harga, namun bangsa Belanda agak terhibur dengan
keuntungan yang akan diraih (kurang lebih 500 persen) di
pasaran Amsterdam.
Kepulauan Banda kemudian menjadi arena niaga
yang ramai dengan hadirnya para pedagang Portu
gis, Cina, Belanda, Inggris (di bawah pimpinan
James Lancaster 1601) dan Melayu. Umumnya para
pedagang membawa berbagai barang keperluan penduduk
yang cocok dengan keinginan dan iklim Kepulauan Banda.
Pedagang Jawa membawa kain batik, India membawa kain
belacu, Cina membawa porselin dan berbagai ramuan
obat-obatan, Belanda membawa wol dan beludru.
Sebaliknya, kehadiran bangsa Belanda yang cepat akrab
dengan penduduk pribumi, membuat rasa iri para pedagang
lainnya. Ketika Fort Nassau jatuh ke tangan Belanda dan
kemudian disewakan pada seorang pribumi sebagai gudang
penyimpan pala dan fuli, kondisi ini menimbulkan perpecahan antara Belanda dan penduduk pribumi Banda. Mengatasi keadaan ini, Belanda lalu mendirikan sebuah
benteng di belakang Fort Nassau, sebagai pelindung Fort Nassau apabila ada penyerangan dari penduduk pribumi.
Adalah Pieter Both yang tiba di Banda pada 26 April 1611
dengan 11 armadanya dan kemudian menjadi Gubemur
Jenderal Banda pertama, memandang perlu untuk mendirikan benteng (Fort) Belgica tersebut. Menurut Benteng itu dinamakan Fort Belgica oleh Pieter Both untuk
mengenang daerah kelahirannya di Belgia (Flams).
Letak benteng itu sangat strategis, memudahkan orang
Belanda mengadakan pengawasan ke segala penjuru Kepulauan Banda. Di tengah halaman Fort Belgica terdapat
sebuah sumur dan terowongan bawah tanah yang berhu
bungan langsung dengan Fort Nassau yang terletak di tepi
pantai Neira. Dibangun dengan bahan-bahan alam yang ada
di tanah Banda Neira dan didesain menurut selera dan
teknik bangsa Belanda pada masa itu, sehingga jadilah Fort
Belgica seperti yang kita saksikan sekarang ini.
|