GUNUNG ARJUNA JALUR PURWOSARI

Gunung Arjuna dengan ketinggian 3.339 mdpl, sejak jaman Kerajaan Singasari dan Majapahit sudah dijadikan tempat pemujaan. Seperti halnya gunung penanggungan yang terletak tidak begitu jauh dari gunung arjuna ini, keduanya banyak memiliki peninggalan sejarah berupa bangunan pemujaan. Dilereng-lereng gunung Arjuna yang berketinggian 3.339 mdpl tersebut banyak terdapat arca maupun candi peninggalan kerajaan Majapahit. Situs-situs kuno dan bersejarah ini banyak berserakan mulai dari kaki gunung sampai di puncak gunung arjuna.


Situs-situs Candi dan patung pemujaan peninggalan Jaman Majapahit itu hanya dapat dijumpai di jalur pendakian Purwosari, yakni tepatnya dari desa Tambak watu kec. purwodadi, kab. pasuruan. Suasana angker dan penuh magis masih menaunginya, karena situs-situs tersebut masih sering didatangi para pejiarah untuk bermeditasi dan berdoa, terutama para penganut kejawen, sehingga situs-situs kekunaan di gunung Arjuna ini terawat dan terjaga dengan baik.
 

Untuk menuju Desa Tambak Watu, dari kota Malang kita naik mobil kecil/bus jurusan surabaya turun di pasar Purwosari. Dari pasar Purwosari kita bisa naik angkutan desa warna kuning dengan ongkos Rp. 3.000,- menuju dusun Tambak Watu. Atau bisa juga dengan naik ojeg dengan ongkos Rp.7.000,-

Dusun Tambak Watu merupakan dusun terakhir dan disinilah pendaki dan para pejiarah melakukan pendaftaran dengan membayar iuran kas desa Rp.1000,- bagi setiap pejiarah/pendaki. Di Pos Pendaftaran yang juga merangkap sebagai warung ini, pendaki maupun pejiarah dapat melengkapi segala kebutuhan logistiknya.

Bila ingin menginap atau bermeditasi di situs-situs ini disarankan untuk membawa obat nyamuk gosok, karena situs-situs ini berada di tengah hutan lebat yang banyak nyamuknya. Pendaki dan pejiarah dilarang membawa obat nyamuk bakar bila menginap di pondok-pondok yang terbuat dari alang-alang. Dari desa Tambak Watu diatas ketinggian 1.000 mdpl, inilah awal pendakian menapaki jalan setapak menuju puncak Arjuna. Pendakian akan melewati hutan pinus yang tertata rapi, sementara di sela-sela pohon pinus tersebut banyak ditanami pohon kopi dan pohon pisang. Suasana tenang, adem, ayem dan wingit mulai terasa begitu memasuki kawasan ini.
 

Sampai di ketinggian 1.300 mdpl kita bisa jumpai sebuah gua yang bernama Gua Antaboga. Goa ini berada di bawah tebing batu menghadap utara,dengan kedalaman 1,5 m, lebar 1 m, serta mempunyai ketinggian 1,25 m. Di depan gua terbapat sebuah pondokan yang bisa digunakan para peziarah untuk melepas penat setelah satu setengah jam berjalan menuju goa ini.


Setiap Jum'at Legi khususnya pada bulan Syuro, goa ini banyak di kunjungi pejiarah sebagai tempat untuk mencari ketenangan hidup. Mereka membakar hio atau dupa serta menabur bunga tiga warna yang digunakan untuk sesajen selagi para peziarah itu memohon doa.

Dengan melewati jalan setapak yang terus menanjak, sementara di kiri kanan jalan nampak semak belukar yang masih rapat dan beberapa bunga liar, sampailah di punden Eyang Madrem. Perjalanan dari Goa Antaboga, Punden Eyang Madrem bisa ditempuh sekitar satu jam dengan berjalan kaki.

Situs ini hanyalah berupa cungkup yang beratap genteng dengan luas sekitar 1,5 x 1,5 m, berdiri di atas sebuah pondasi batu bata setinggi 3 m. Diatasnya terdapat batu andezit yang disusun berjejer tiga. Sementara di dekat batu tersebut di sediakan tempat kemenyan untuk para peziarah yang ingin berdoa di situ. Dari pondasi batu bata, sebelum menuju tempat utama punden, terlihat tangga batu yang teratur rapi.

Dari Situs Eyang Madrem perjalanan bisa dilanjutkan menuju situs Eyang Abiyasa. Untuk menuju petilasan Eyang Abiyasa ini kita harus menapaki jalan setapak di tengah hutan lebat. Dengan perjalanan sekitar 1,5 jam sampailah di padepokan Eyang Abiyasa. Jalan setapak disekitar situs ini ditata rapi dengan semen dan dikiri kanan jalan dibentuk taman-taman yang sangat rapi dan bersih.

Petilasan inilah yang dijadikan pusat bagi para penganut aliran kepercayaan untuk berkumpul dan mengadakan ritual pada bulan Suro. Dalam bilik petilasan ini tidak terdapat arca maupun batu yang bisa dijadikan tanda peninggalan kerajaan. Tapi bagi yang beruntung mereka dapat melihat patung Eyang Abiyasa tersebut.

Terdapat kolam Dewi Kunti konon jika airnya diminum dapat memberikan keluhuran jiwa serta selalu ingat Hyang Kuasa. Di sini juga terdapat beberapa pondokan yang dibangun untuk pejiarah. Sekitar 50 meter agak ke bawah dari kedua petilasan ini terdapat situs Eyang Sekutrem.

Petilasan ini dinaungi oleh pohon-pohon besar sehingga dari kejauhan sudah nampak kesan wingit dan angker. Petilasan Eyang sekutrem juga berupa kamar yang tertutup tembok. Lebar bangunan tersebut sekitar 2,5m x 2m. Di dalamnya ada sebuah arca yang terbuat dari batu andezit dengan tinggi sekitar 70 cm. Di petilasan ini selalu dinyalakan hio dan dupa yang menyebarkan bau harum.


Sambil mengucapkan terima kasih ketika meninggalkan situs Eyang Sekutrem, kita berjalan melewati hutan lebat dan sekitar 30 menit sampailah di situs Eyang Sakri. Menurut cerita Eyang Sakri merupakan tokoh pertama yang menurunkan raja-raja Majapahit.

Petilasan ini berupa cungkup tertutup menghadap ke barat, terbuat dari kayu. Di dalamnya terdapat semacam makam batu yang membujur ke utara selatan. Di sampingnya berdiri sebuah pondok yang terbuat dari ilalang kering yang dapat digunakan untuk beristirahat maupun bermalam.

Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri punggung bukit yang agak terjal dangan menembus jalur yang membelah padang alang-alang dan hutan lebat, hingga sampai di ketinggian 2100 mdpl. Di sini bisa dilihat arca Eyang Semar yang menghadap ke Timur. Tempat ini merupakan persinggahan Eyang Semar ketika mengantar Wisnu yang akan bertapa di Makutarama.

Dengan bersemedi memohon pada Eyang Semar, ditempat ini bila Anda beruntung bisa memperoleh ajian Semar Mesem, permohonan apapun seringkali dikabulkan oleh Eyang Semar. Tempat ini terkenal paling angker, hindari menginap dilokasi ini, meskipun di sekitar situs ini terdapat tiga buah pondok dan sebuah aula yang dibangun oleh para pejiarah. Selain itu para pejiarah juga membuat bak penampungan air. Dengan selang plastik mereka mengalirkan air yang berasal dari sendang drajad.


Dari situs Eyang Semar ini kita bisa melanjutkan perjalanan ke atas bukit berbatu. Sebelum masuk areal Wahyu Makutarama ini, akan dijumpai enam patung Semar yang menggambarkan kesetiaannya mengantar Wisnu sampai di Pertapaan Makutarama.

Dengan berjalan sekitar 30 menit akan sampai di Wahyu Makutarama, yaitu tempat bertapa Dewa Wisnu. Petilasan ini berupa bangunan andesit yang berukuran 7 x 7 m dengan tinggi sekitar 3 meter. Di bangunan batu ini terdapat dua buah Mahkota raja yang berdampingan. Ini merupakan sebuah simbol kebesaran dari seorang raja jaman duhulu.


Terdapat sebuah pondok di sebelah kiri situs ini. Dengan berjalan menempuh jarak sekitar 100 meter ke arah kiri akan kita dapati sebuah sungai dengan batu-batu yang besar. Namun sungai ini kering di musim kemarau, menyisakan genangan air di celah batu. Bermeditasi di atas batu besar di sungai ini sambil memandangi puncak Mahameru, akan membawa kita menerawang ke puncak para Dewa.

Bila di musim penghujan sungai ini akan dialiri air dan membentuk air terjun yang sangat indah dan dapat digunakan untuk mandi dan tapa kungkum (berendam). Sementara itu di seberang sungai ini terdapat hutan tropis yang masih lebat, yang banyak dihuni menjangan, lutung, elang jawa dan satwa liar lainnya.

Dari Makutarama, berjalan ke atas lagi untuk mencapai puncak tertinggi yang merupakan tempat muksanya Pandawa yakni Puncak Sepilar. Candi sepilar ini dikawal oleh sembilan arca yang menggambarkan raksasa yang sedang mengawal Pandawa. Arca ini terdapat di bawah candi Sepilar tersebut. Suasana angker dan menyeramkan sangat terasa, terutama bila kita melakukan pendakian pada malam hari. Kita akan berjalan meniti jalan setapak yang dikelilingi patung-patung buto (raksasa).

Di Sepilar inilah juga terdapat Pasar Setan atau Pasar Dieng seperti halnya di Gunung Lawu atau Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Bila dari Sepilar, menuju arah kanan menyusuri satu bukit, sampailah di Candi Wesi. Semasa Bung Karno masih muda dan belum menjadi Presiden RI, beliau sering ke Candi Wesi ini.


Di sini bisa dilihat tiga arca Pandawa, dahulunya terdapat lima buah patung namun patung Nakula dan Sadewa telah hilang dicuri. Di sebelah kiri bangunan Candi Sepilar bisa dilihat sebuah kuburan, yang menurut cerita merupakan merupakan tempat muksanya Eyang Semar.

Pada bulan Suro tempat ini banyak didatangi para penganut aliran Kejawen untuk memohon doa bagi keselamatan hidupnya. Di sebelah kanan situs ini di bangun sebuah pondokan oleh para pejiarah untuk menginap. Sekitar 100 meter ke arah kanan terdapat sumber mata air yang disebut sendang drajad.

Kalau meneruskan perjalanan mendaki lagi, sampailah di Candi Mangunggale Suci. Candi ini hanyalah sebuah batu yang ditata seperti pondasi yang di atasnya terletak sebuah marmer yang bertuliskan huruf jawa dan di bawahnya lagi tertulis Sura Dira Jaya Diningrat Lebur Dining Pangastuti ( Kejahatan pasti kalah oleh kebaikan). Dan di bawah tulisan ini tersebutlah nama Maha Resi Agung Prawira Harjana. Orang ini adalah pengikut setia Bung Karno.


Dari Candi Manunggale Suci, kita berjalan ke arah kiri mendaki bukit terjal diantara pohon-pohon pinus. Dengan menyusuri punggungan bukit, jalan setapak berada di pinggiran jurang dalam yang berbatuan, dan deru angin kencang serta kabut yang sering muncul, menambah seramnya suasana.

Mendaki di jalur ini harus ekstra hati-hati terutama bila dilakukan di malam hari. Setelah berjalan sekitar 1 jam kita berbelok ke kanan mengikuti alur punggung bukit yang semakin terjal dan berbatu-batu. Dari tempat ini kita bisa melihat jurang dalam yang sangat indah, sesekali nampak elang jawa terbang mencari makan. Puncak gunung Arjuna juga kelihatan di depan mata.

Dengan berjalan sekitar 2 jam menyusuri punggung bukit yang berbatuan kita akan sampai di pertemuan dua buah punggung bukit, kemudian kita menyusuri lereng jurang yang mengitari puncak Arjuna. 1/2 jam kemudian dengan mengitari puncak arjuna yang banyak batu besarnya kita akan tiba di pertemuan jalur purwosari dan jalur Lawang.


Selanjutnya kita harus menempuh padang rumput yang banyak ditumbuhi bunga edelweis, jalur ini sangat terjal melintasi tanah yang berdebu, sekitar 1/2 jam kita akan sampai di puncak gunung arjuna yang disebut puncak Ogal-agil atau puncak Ringgit, sebelumnya kita harus melewati batu-batuan yang berserakan.

Para pejiarah membangun undak-undakan yang tersusun dari batu-batu andesit yang ditata rapi, untuk melangkah ke puncak Gn.Arjuna.


Disekitar puncak gunung Arjuna banyak terdapat batu-batu besar yang berserakan, di sebelah utara puncak berupa jurang terjal berbatu-batu yang sangat indah. Sangat disayangkan batu-batu besar di puncak gunung Arjuna ini telah dicemari oleh coretan-coretan tangan-tangan mereka yang mengaku "Pecinta Alam".


Ke arah barat tampak di depan kita gunung Welirang yang selalu mengeluarkan asap, disamping gunung Welirang ke arah Barat Laut tampak gunung penanggungan yang runcing sempurna, dengan puncak yang menyerupai gunung semeru. Kearah timur kita dapat menyaksikan puncak gunung semeru yang sangat menawan. Di sebelah selatan kita berdiri gunung Kawi dan gunung Anjasmoro.


Di puncak gunung Arjuna terdapat sebuah batu yang berbentuk singasana (kursi) yang sering dikunjungi para pejiarah untuk membakar hio dan dupa. Pada batu ini terdapat gambar cakra dan tulisan jawa yang berarti Maha Kuasa, disinilah tempat bertahta penguasa Alam Gaib gunung Arjuna, Jangan coba-coba untuk duduk atau menginjak batu ini, agar terhindar dari celaka.

TENTANG MERBABU.COM

Merbabu Community atau Komunitas Pecinta Alam Merbabu, berdiri sejak tahun 1984.

Website Merbabu.com hadir sejak tahun 2001, dirintis sejak tahun 1997 dengan domain hosting gratisan.

UNDERCONSTRUCTION

KERATON

CANDI

AIR TERJUN

 

.

.

Copyrights © 2001 - 2017 Merbabu.Com Powered by Propacom